![]() |
| Kantor Kecamatan Talawaan dan Proses pelantikan KAUR Desa Wusa yang dipermasalahkan saat ini. (Foto istimewa) |
MINUT, Brantas.News - Di tengah lantang slogan transparansi dan profesionalisme, Desa Wusa, Kecamatan Talawaan, Kabupaten Minahasa Utara, justru menyimpan bau busuk di balik layar.
Proses penjaringan perangkat desa yang semestinya bersih dan jujur, kini tercoreng oleh jejak kejanggalan yang sulit ditutupi.
Dan di tengah kabut itu, mencuat satu nama: Meggy J. Kawuwung sosok yang sempat gugur di seleksi awal, namun secara misterius kini duduk manis sebagai Kepala Urusan (KAUR) Umum.
Sebuah kisah “gagal yang berujung sukses” tapi dengan banyak tanda tanya yang menggantung.
Dari Ditolak Jadi Dilantik
Riwayat pendidikannya tuntas di Jakarta, dari SD hingga SMA. Ia memang ber-KTP Wusa, tapi warga setempat menegaskan orang ini tak pernah tinggal di desa itu.
“Dia memang pegang KTP sini, tapi kita semua tahu dia bukan warga yang menetap,” ujar seorang tokoh masyarakat dengan nada tegas.
Lebih jauh lagi, Meggy pernah ditolak ketika mendaftar sebagai calon Kepala Jaga karena tidak memenuhi syarat domisili.
Namun entah lewat keajaiban administratif atau permainan di balik meja, namanya tiba-tiba hidup kembali di penjaringan jabatan KAUR Umum dan kali ini, langsung dilantik.
Seleksi yang Sarat Rekayasa
Namun, keadaan berubah cepat. Setelah posisi KAUR Perencanaan diisi, panitia tiba-tiba membuka kembali pendaftaran untuk posisi KAUR Umum.
Pendaftaran ditutup 3 November 2025 pukul 12.00 hasil verifikasi menunjukkan Meggy kembali tidak lolos.
Tapi anehnya, saat ujian digelar, Meggy hadir dan ikut tes seolah tak pernah gagal.
Tak ada berita acara tambahan, tak ada surat keputusan baru, tak ada kejelasan hukum. Panitia memilih diam, seakan semua sudah “diatur”.
Jadwal Diacak, Tes Tiba-Tiba, Pelantikan Kilat. Tes seleksi awalnya diumumkan Selasa, 4 November 2025, pukul 10.00 di kantor desa.
Namun, tanpa alasan jelas, ditunda ke Rabu. Tak lama, jadwal berubah lagi tes dilakukan sore hari di hari yang sama, tanpa pemberitahuan resmi.
“Kami disuruh tunggu, dibilang diundur. Tiba-tiba sore langsung dites. Panitia main sendiri,” keluh salah satu peserta.
Lebih ironis lagi, hasil tes tak pernah diumumkan. Tak ada masa sanggah, tak ada nilai terbuka, langsung dikirim ke kecamatan.
Keesokan harinya, 6 November 2025, Meggy J. Kawuwung resmi dilantik sebagai KAUR Umum.
Cepat, senyap, dan nyaris tanpa jejak
Ketua Panitia Penjaringan, Lingkan Pinangkaan, disebut memiliki hubungan keluarga dekat dengan Margareth Pusung, yang juga baru saja dilantik sebagai KAUR Perencanaan.
“Kalau panitia punya hubungan darah sama peserta, bagaimana mau netral?” ujar seorang warga dengan nada sinis.
Dugaan pun menguat: pembukaan ulang penjaringan KAUR Umum hanyalah jalur istimewa yang disiapkan bagi kandidat tertentu.
Semacam “panggung kecil” dengan skenario besar tampak legal, tapi sarat rekayasa.
Panitia Hilang Suara, Camat Diduga Cuci Tangan
Rumahnya tertutup rapat, telepon dan pesan WhatsApp tak pernah dijawab.
Sementara Camat Talawaan, Alexander C.L. Warbung, S.IP., justru melempar tanggung jawab.
“Itu kewenangan pemerintah desa. Kecamatan hanya menerima laporan,” ujarnya singkat.
Pernyataan itu justru memperkuat dugaan adanya intervensi diam-diam.
Sebab, sejumlah warga mengaku pernah mendengar kabar adanya “arahan dari atas” soal siapa yang akan dilantik.
Ahli Hukum Bicara: Bisa Batal Demi Hukum
“Seleksi perangkat desa wajib transparan dan objektif. Jika terbukti ada rekayasa, hasilnya batal demi hukum,” tegasnya.
Padahal, UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 jo. 67 Tahun 2017 jelas mengamanatkan seleksi perangkat desa harus terbuka, objektif, dan akuntabel.
Masyarakat Desa Wusa mencatat sedikitnya empat kejanggalan besar dalam proses ini:
1.Peserta yang gugur administrasi tetap diloloskan.
2. Syarat domisili diabaikan.
3.Tidak ada masa sanggah dan transparansi hasil tes.
4. Pelantikan dilakukan cepat tanpa dasar hukum yang jelas.
“Kalau caranya masuk saja sudah gelap, bagaimana bisa kerja terang?” sindir warga.
Luka Lama Nepotisme Desa
Wusa kini menjadi cermin buram dari gagalnya prinsip transparansi di tingkat akar rumput.
Pelantikan KAUR Umum Desa Wusa bukan sekadar pelanggaran administratif tapi tamparan keras bagi moralitas birokrasi desa.
“Kami tidak anti siapa pun yang terpilih,” kata warga.
“Tapi kalau caranya kotor, itu penghinaan buat masyarakat.”
Akhir yang Belum Tamat. Apakah ini hanya “kesalahan administratif”?
Ataukah memang sebuah skenario yang disusun rapih untuk memastikan siapa yang duduk di kursi kekuasaan desa?
Jawabannya kini ada di tangan aparat pengawas dan penegak hukum.
Warga sudah bersuara tinggal menunggu, apakah suara kebenaran didengar, atau dibungkam.
Red/Cia
