Bitung, Brantas.News — Polemik keberadaan sebuah kafe di lantai tiga gedung milik Perumda Pasar Kota Bitung, tepatnya di kompleks Pasar Cita, Kecamatan Maesa, kian memanas. Publik mempertanyakan dasar hukum dan transparansi pengelolaan aset publik yang dialihfungsikan menjadi tempat hiburan, alih-alih untuk kepentingan pasar rakyat.
Lebih menghebohkan, kafe tersebut disebut-sebut dikelola oleh pria berinisial IM alias Ical, yang dikenal publik memiliki rekam jejak kelam dalam bisnis ilegal solar. Fakta ini menimbulkan tanda tanya besar: mengapa aset publik justru dipercayakan pada figur bermasalah?
Potensi Pelanggaran Hukum
Secara hukum, pemanfaatan aset daerah tunduk pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Dalam regulasi tersebut ditegaskan bahwa pemanfaatan aset harus melalui mekanisme yang jelas: sewa, pinjam pakai, kerja sama, atau pemanfaatan lain yang wajib disertai izin resmi dan transparansi.
Jika benar aset Perumda Pasar dialihfungsikan tanpa prosedur yang sah, maka ada indikasi penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor yang menyebutkan: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun.”
Sejumlah sumber internal mengungkap, operasional kafe tersebut diduga tak lepas dari “restu” pejabat tinggi daerah. Jika benar ada pembiaran dari Walikota Bitung, maka situasi ini mencerminkan pelanggaran prinsip good governance, yakni transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan hukum.
Seorang karyawan yang bekerja di lokasi mengaku, kafe tidak mungkin berjalan tanpa dukungan pihak berpengaruh.
“Kalau bukan karena ada yang back up, tidak mungkin bisa jalan. Ini kan gedung pemerintah,” ujarnya dengan syarat identitas dirahasiakan.
Aktivis antikorupsi di Bitung, J. Luntungan, menilai praktik ini sangat berbahaya bagi tata kelola pemerintahan.
“Gedung Perumda itu milik rakyat. Kalau dipakai untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, apalagi dengan rekam jejak hitam pengelolanya, itu sama saja merampas hak publik. Aparat penegak hukum harus turun tangan,” tegasnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Sam Ratulangi, Dr.M. Sumual, mengingatkan bahwa pembiaran semacam ini justru menciptakan preseden buruk.
“Alih fungsi aset publik tanpa mekanisme resmi menunjukkan lemahnya kontrol pemerintah daerah. Publik bisa menilai bahwa ada konflik kepentingan yang dibiarkan. Jika tidak ada langkah tegas, kepercayaan masyarakat pada pemerintah akan terkikis,” jelasnya.
Intimidasi terhadap Jurnalis
Ironisnya, saat awak Brantas.News mencoba mengonfirmasi kepada pengelola berinisial IM alias Ical Mamuntu melalui pesan WhatsApp, bukan jawaban yang didapat, melainkan ancaman halus. IM justru mempertanyakan legalitas wartawan dan menegaskan dirinya adalah pimpinan sebuah ormas di Sulut dengan banyak anggota. Sikap ini dinilai sebagai bentuk intimidasi terhadap kerja jurnalistik yang dilindungi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Perumda Pasar maupun Pemerintah Kota Bitung belum memberikan klarifikasi resmi. Namun, publik mendesak aparat penegak hukum terutama Kejaksaan dan KPK untuk turun melakukan investigasi.
Kasus ini bukan hanya soal keberadaan sebuah kafe, melainkan ujian serius bagi komitmen pemerintah daerah dalam menjaga aset publik dari kepentingan sempit. Publik kini menunggu, apakah Walikota Bitung berani mengambil tindakan tegas, atau justru memilih diam di tengah aroma kepentingan yang semakin menyengat.
Cia